Kesepakatan Rapat Pleno Komisi Liturgi KWI 2011

Rapat Pleno Komisi Liturgi Konferensi Waligereja Indonesia yang diselenggarakan pada 18-22 Juli 2011 di Graha Wacana, SVD Family Centre, Jalan Raya Ledug 5 A, Prigen, Pasuruan, Jawa Timur. Pertemuan yang dihadiri oleh para Utusan Keuskupan se-Indonesia, para Dosen Liturgi, dan anggota Dewan Pleno Komisi Liturgi KWI ini memilih tema: “Menemukan Kembali Spiritualitas Devosi.”
Latar Belakang
Pengalaman devosi merupakan suasana yang dominan dalam kehidupan umat. Devosi membantu umat untuk mengungkapkan hubungan dengan Allah dan untuk menumbuhkembangkan iman. Namun, seringkali devosi dilakukan semata-mata untuk menuruti perasaan pribadi tanpa memperhatikan kebenaran iman yang seharusnya terungkap di dalamnya dan tanpa memperhatikan dampaknya bagi sesama umat beriman. Selain kebutuhan pribadi umat dengan harapan bahwa Allah akan memenuhi kebutuhannya. Karena merasa puas dengan menjalankan devosi, banyak orang yang kemudian kurang menghayati dan kurang menghargai liturgi. Apalagi liturgi dirasa sangat kering dan membosankan karena tidak sesuai keinginan dan perasaan pribadinya. Melihat kenyataan itu, seluruh anggota Gereja perlu memahami spiritualitas devosi, kaitan antara devosi dan liturgi, serta bagaimana menjalankan devosi secara benar dan sehat.
Latar Belakang
Devosi. Dalam devosi orang mengungkapkan bakti kepada pribadi yang dihormati dan dikasihi. Dalam pemahaman religius, devosi diarahkan kepada Allah baik secara langsung maupun melalui orang kudus dengan berbagai cara dan sarana. Devosi yang bersifat personal itu dilakukan dalam kesadaran sebagai anggota Tubuh Kristus. Devosi diungkapkan dalam doa, madah, kebiasaan yang dikaitkan dengan waktu atau tempat tertentu, panji-panji, medali, busana, dan sebagainya. Devosi tidak terikat pada aturan resmi Gereja seperti Liturgi. Gereja pun tidak mewajibkan orang beriman untuk melaksanakannya, walaupun kegiatan ini sungguh bernilai dan disukai. Penyelenggaraan devosi, baik urutan maupun unsur-unsurnya, dapat berubah-ubah sesuai dengan keinginan orang yang melaksanakannya. Karena lebih mengikuti keinginan pribadi, devosi tidak terikat pada kebersamaan, walaupun orang-orang yang memiliki keinginan yang sama dapat melakukannya secara bersama-sama.
Liturgi. Berbeda dari devosi, liturgi merupakan kegiatan resmi Gereja yang dilakukan bersama oleh umat demi kepentingan umum dan dengan mengikuti ketentuan yang dikeluarkan oleh Gereja. Dari dirinya sendiri tindakan liturgis mengandung nilai keselamatan. Seluruh perayaan, yang dilaksanakan dengan pola resmi yang telah disepakati, membuat umat beriman mengalami kehadiran Allah dan karya-Nya yang menyelamatkan. Liturgi dipandang sebagai kegiatan yang harus dilaksanakan oleh umat beriman agar hidupnya dalam persekutuan Gereja bertumbuh dan berkembang dengan baik.
Keunggulan Liturgi. Gereja menghargai kedua kegiatan ini karena masing-masing mempunyai peran khusus dalam menumbuhkembangkan iman. Walaupun demikian, liturgi lebih unggul dibandingkan semua bentuk doa Kristiani. Keunggulan itu terletak pada hakikat liturgi sebagai pelaksanaan tugas imamat Yesus Kristus untuk memuliakan Allah dan menguduskan manusia. Karena itu, devosi tidak boleh menjadi saingan dari liturgi. Devosi harus selaras dengan liturgi kudus: bersumber pada liturgi dan menghantar umat kepada perayaan Liturgi (SC.13). Semua kegiatan devosional harus memuncak pada perjumpaan dengan Allah dalam perayaan liturgis.
Penyerasian
Devosi dan Masa Liturgi. Devosi merupakan sarana yang efektif bagi umat untuk menghayati iman dan meraih kesucian. Karena itu, Gereja mengajak umat mempergunakan Masa Liturgi sebagai kesempatan untuk mengarahkan diri pada misteri iman yang dirayakan. Misalnya, dalam masa Prapaskah, Jalan Salib dapat menjadi sarana yang ampuh untuk mengajak umat merenungkan misteri salib Kristus dan memandang salib sebagai jalan untuk bersatu dengan Kristus. Agar umat semakin dapat menghayati nilai spiritual di masa liturgi tertentu, perlu ditawarkan bentuk-bentuk devosi tertentu. Misalnya, pada masa prapaskah, selain jalan salib, bisa juga diadakan devosi kepada Wajah Kristus dan Ibadah Tujuh Sabda; pada masa adven, ketika perayaan liturgi menampilkan peran Yohanes dan Maria, dapat juga dianjurkan devosi kepada kedua orang kudus itu.
Devosi dan Perayaan Liturgi. Dalam sejarah liturgi Gereja beberapa unsur devosional telah diangkat menjadi bagian dari perayaan liturgis setelah melewati proses pembentukan yang dilakukan di bawah kewenangan Gereja. Misalnya, perarakan daun palma menggantikan Ritus Pembuka dalam misa mengenangkan sengsara Tuhan dan perarakan Sakramen Mahakudus menggantikan Ritus Penutup dalam misa pengenangan perjamuan Tuhan. Proses integrasi unsur devosi ke dalam liturgi ini telah ditentukan dengan kriteria dan norma liturgis yang berlaku, sehingga tidak sembarang orang diperkenankan melakukannya.
Devosi dan budaya. Umat yang hidup dalam suasana dan jiwa budaya tertentu dimungkinkan untuk mempergunakan unsur-unsur budaya dalam kegiatan devosional. Contoh, pohon natal biasanya berupa pohon cemara dapat diganti dengan pohon lain yang mempunyai nilai khusus dalam budaya setempat dan makna simbolis yang serupa. Dalam hal ini hendaknya diperhatikan anjuran berikut: “tidak boleh memasukkan ritus-ritus yang dirasuki oleh takhyul ke dalam Gereja, penyembahan berhala, animisme, dan balas dendam atau hal-hal yang terkait dengan seks” (Varietates Legitimae, 48)
Devosi yang Benar dan Sehat
Devosi dan Pertobatan. Devosi yang benar dan sesuai dengan kehendak Allah dalam kesatuan Gereja Katolik mewujudkan gerakan hidup rohani yang akan menghadirkan wajah Gereja yang kudus. Devosi harus didasarkan pda perjumpaan orang beriman dengan Allah, melalui Kitab Suci, sakramen-sakramen, dan karya kasih, serta dalam hati nurani umat beriman. Perlu diingatkan kembali bahwa devosi yang sejati tidak didasari harapan agar Tuhan memenuhi kebutuhan pribadi, tetapi dengan semangat untuk bertobat supaya dapat hidup dalam kesalehan sebagai anggota tubuh Kristus.
Devosi dan Pelayanan. Melalui devosi yang sehat diharapkan umat bertumbuh dalam iman dan kasih persaudaraan sebagai Gereja. Penghayatan devosi yang sehat membuahkan karya kasih di tengah masyarakat.
Kepedulian dan Kesepakatan
Komisi liturgi keuskupan perlu memberi bimbingan yang bijaksana dan berkelanjutan kepada umat agar: 1) memiliki pemahaman yang benar dan baik tentang spiritualitas, tata cara, dan makna dari unsur-unsur devosional (gambar, doa, waktu, lambang), 2) menjalankan devosi sehingga dapat lebih menghayati perayaan liturgi, terutama Ekaristi.
Untuk menjalankan proses katekese ini Komisi Liturgi Keuskupan perlu mengupayakan: 1) materi yang disusun secara sistematis supaya dapat dipahami oleh umat pada umumnya, 2) sarana yang memadai dan efektif, 3) pembinaan tenaga-tenaga pengajar agar memiliki kompetensi dalam bidang ini, 4) dukungan dari pihak-pihak yang bertanggung jawab langsung atas pembinaan iman umat.
Seluruh rangkaian pertemuan ini telah melalui beberapa tahap yang meliputi: survei untuk mencari data faktual, refleksi bersama dengan bantuan para narasumber, serta merumuskan kepedulian dan kesepakatan. Selanjutnya diharapkan para peserta menindaklanjuti kesepakatan yang telah dicapai dalam pertemuan ini sesuai dengan keadaan di tempat karya masing-masing.

Graha Wacana – Prigen, 21 Juli 2011
Atas nama para peserta


Mgr. A. M. Sutrisnaatmaka; MSF